Aceh, Biarkan Damai Tumbuh Bersama Kami

Jangan kembalikan Aceh ke titik Nol, adalah dengungan permintaan tulus dari dada masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh tidak ingin ruang publiknya kembali diwarnai prasangka dan curiga. Ada banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh masyarakat Aceh sendiri pasca konflik dan tsunami. Pekerjaan rumah yang dimaksud bukan hanya soal pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, tetapi juga pemulihan ruang mental masyarakat itu sendiri.

Lima tahun pasca kesepakatan damai (15 Agustus 2005) di Helsinki Finlandia antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, situasi Aceh ternyata belum seratus persen kondusif. Berbagai gejolak konflik muncul, walau tidak beruntun. Yang paling mencolok adalah berbagai peristiwa penembakan dan penculikan menjelang pemilihan anggota legislatif pada April 2009. Ketika itu, Aceh seperti sedang kembali .ke belakang, ke jalur yang mencemaskan.

Semua kasus kekerasan yang muncul, baik penembakan maupun penculikan ternyata tidak hanya menyita perhatian aparat keamanan dan segenap elemen masyarakat Aceh untuk selalu waspada dan berjaga, tetapi juga mempengaruhi ruang mental publik masyarakat Aceh itu sendiri. Ruang publik yang kembali dijalin sebagai media integrasi, relasi perjumpaan yang kembali dibangun dengan senyum persaudaraan, dan lalu lintas komunikasi yang dibangun untuk saling percaya seperti sedang dan selalu dirong-rong dan diganggu.

Sekarang, setelah lima tahun sudah, Aceh kembali dibikin bising dengan berbagai berita dan informasi seputar perburuan teroris. Letupan senapan Densus 88 anti-teror yang menewaskan tersangka teroris kembali mengganggu ketentraman ruang publik masyarakat Aceh. Ditambah pemberitaan media massa yang cenderung reaksional dan vulgar, seperti sudah sedang ’melabelkan’ Aceh sebagai tempat paling mencekam dan menakutkan. ’Konflik’ di Aceh seperti tidak berkesudahan.

Jangan kembalikan Aceh ke titik Nol, adalah dengungan permintaan tulus dari dada masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh tidak ingin ruang publiknya kembali diwarnai prasangka dan curiga. Ada banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh masyarakat Aceh sendiri pasca konflik dan tsunami. Pekerjaan rumah yang dimaksud bukan hanya soal pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, tetapi juga pemulihan ruang mental masyarakat itu sendiri.

Jangan kembalikan Aceh ke titik Nol, adalah seruan moral kepada semua elemen masyarakat bangsa, lebih-lebih masyarakat Aceh sendiri untuk tetap awas terhadap segala situasi dan kemungkinan konflik yang bakal terjadi, sambil berupaya untuk membangun tali silaturahmi, komunikasi dan tenggang rasa antara satu dengan yang lain. Penuhi ruang mental dengan semangat kekeluargaan dan persaudaraan. Bangun kepedulian dan keberpihakan kepada kebenaran bersama. Singkirkan prasangka dan curiga, dan berusahalah untuk melihat alternatif-alternatif perubahan secara jernih dan optimis.

”Biarlah Damai Tumbuh Bersama Kami” adalah semangat dasar masyarakat Aceh dalam upaya mempertahankan dan menjaga perdamaian yang berkelanjutan. Siapa pun tanpa kecuali, harus mendukung dengan tulus dan sepenuh hati semangat dasar ini. Agar perdamaian yang sudah disepakati sesungguhnya dapat kita nikmati bersama.***